Ekpedisi Munggaran Amerta Bagian Sindoro - Sumbing


Sebagai generasi muda yang memiliki kemampuan intuitif sosial dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya, tentunya memerlukan media penyalur aspirasi dan kreatifitas yang mendukung seperti kegiatan alam bebas berupa penelitian mengenai SDA yang ada di alam, khususnya mata air di dataran tinggi yang sering dikonsumsi oleh pendaki dan masyarakat sekitarnya. Ini lah yang menjadi latar belakang ekspedisi yang bernama Munggaran Amerta dari Perhimpuanan Rejanawana, FTIP UNPAD.
Munggaran Amerta memiliki arti air kehidupan yang utama. Ekspedisi ini bertujuan untuk melakukan pendataan mengenai kualitas air di 17 daerah pegunungan daerah Jawa-Bali-NTB. Ekspedisi ini terbagi menjadi tim-tim kecil yang terdiri dari 3-5 orang. Kualitas air yang diamati berupa pH air, salinitas air, RSC dan Boron. Selain itu para tim juga harus melakukan pemetaan wilayah pedesaaan, sosiologi pedesaan, perhitungan alokasi air serta pengambilan sampel air untuk pengakurasian data. Data-data hasil ekspedisi ini nantinya akan dijabarkan dalam bentuk seminar pada bulan Oktober.
Salah satu Gunung yang didata adalah Gunung Sindoro-Sumbing yang terletak di antara wilayah Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah. Pendakian gunung ini merupakan rangkaian terakhir dari ekspedisi Munggaran Amerta yaitu diadakan dari tanggal 20-24 Agustus 2013. Anggota tim perjalanan ini terdiri dari Halim, Rian, Dudin, Kingdom, Dewi.
Perjalanan dimulai dengan menaiki bus jurusan Bandung-Wonosobo pagi hari dan sampai di Wonosobo sore hari. Tujuan pertama kami adalah Gunung Sumbing dengan jalur pendakian Garung sehingga kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Butuh, Dusun Garung. Selain jalur Garung jalur pendakian Sumbing dapat juga dilakukan melalui jalur Cepit, Tedeng, dan Bogowongso.
Pendakian dimulai pukul 22.15 WIB dan sampai di Pos Pestan Pukul 02.00. Kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Buntu jam 06.00 pagi dan sampai di sana jam 08.00. Perasaan lelah terbayar sudah Pemandangan berbagai macam gunung terhampar di puncak ini, mulai dari Sindoro, Pegunungan Dieng, Merapi, Merbabu, Selamet, Lawu bahkan Ciremai pun terlihat walaupun kecil. Siangnya kami turun kembali menuju Desa Buntuh dan bermalam di rumah kepala desa sambil membicarakan mengenai sumber mata air yang ada di Gunung Sumbing yaitu mata air Gadung yang akan kami ambil sampel airnya keesokan harinya.
Basecamp pendakian Sumbing (Stickpala) penuh dengan pengunjung, mereka adalah pendaki yang awalnya akan mendaki Sindoro, sayangnya Gunung Sindoro sedang ditutup. Rasa panik melanda bagaimana ini kalau jalur Sindoro ditutup? Namun kami tetap melanjutkan perjalanan menuju Desa Kledung, desa terakhir Gunung Sindoro. Jam satu siang kami sampai di kantor Kepala Desa Kledung.  Alhamdulillah, kami diizinkan untuk mendaki, apalagi ketika beliau tahu maksud dari pendakian kami. Menurut beliau sumber mata air yang digunakan oleh penduduk sekitar Sindoro ada dua yaitu, berasal dari Gunung Sumbing dan Kali Situ. Sayangnya sumber mata air Kali Situ, hanya bermuara untuk 13 rumah penduduk, salah satunya adalah rumah bapak kepala dusun.
            Kami bermalam di rumah bapak kepala dusun, beliau menyambut kami hangat. Bapak kepala dusun ini bahkan tidak segan-segan mengajari kami cara melinting rokok tembakau. Ada yang berbeda dengan cara pembuatan rokok linting kali ini, rokok linting ini dicampur dengan menyan kering untuk memperkaya aroma pada rokok.
            Jam tiga pagi kami bersiap-siap untuk mendaki Sindoro. Awal pendakian pemandangan didominasi dengan perkebunan sayur. Kami sampai di Pos Cawang jam setengah enam, sambil menikmati pemandangan sunrise yang memikat. perjalan kemudian dilanjutkan ke Pos Seroto. Pemandangan setelah pos ini didominasi dengan hutan Sabana. Hal ini membuat kami beberapa kali tertipu, kami pikir sudah sampai di puncaknya ternyata masih ada tanjakan terjal selanjutnya.

            Jam 08.00 pagi kami sampai di puncak Sindoro. Rasa penasaran mendorong kami mencari mata air Kali Situ yang dibicarakan bapak kepala desa. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan petani yang siap mengantarkan kami menuju Kali Situ. Bapak petani kemudian menunjukkan jalan kepada Halim. Menurut bapak petani sumber mata air Kali Situ merupakan daerah yang dikramatkan. Daerah sumber mata air ini sedikit menjorok ke dalam dan kondisi yang memang kurang terawat, di dekat terdapat gubuk yang sudah lumayan hancur. Jam empat sore kami sampai di rumah kepala desa dan segera bergegas pulang mengejar bus jam enam sore.




*dimuat di kompas 08 Oktober 2013*

Comments