Kasepuhan Ciptagelar : 652 Tahun Menjaga Titipan Tradisi Pangan dari Leluhur

(Sumber: ciptagelar.info)

Tidak semua tahu, tidak semua percaya, bahwa di antara aliran tradisi adat yang turun temurun, mengalir pula fakta bahwa lumbung padi kasepuhan Ciptagelar yang jumlahnya mencapai 10926 lumbung padi ini mampu memenuhi kebutuhan pangan kasepuhan selama 95 tahun ke depan.

Sekelumit fakta tentang Kasepuhan Ciptagelar

Kasepuhan Ciptagelar merupakan perkampungan adat yang secara wilayah termasuk ke dalam 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bogor. Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh seseorang yang dipanggil Abah dan dibantu oleh 7 lorokan utama, dimana sejak pertama kali mendapat eksistensi pada tahun 1368, Kasepuhan Ciptagelar ini telah mengalami 19 kali proses pergantian kepala kasepuhan.

Pada awalnya Kasepuhan ini bernama Ciptarasa, namun pada tahun 2000 turun wangsit untuk berpindah lokasi ke Gunung Cikaranjang serta mengganti nama menjadi Ciptagelar, sesuai misi kasepuhan yaitu menggelarkan tatanan leluhur yang menjadi pancer pangawinan (poin utama). Harus mampu mengawinkan dua sisi, kanan kiri, depan belakang, lahir batin, menyeimbangkan hitam dan putih, yin dan yang serta yang terlihat dan yang tak terlihat.

Maka inilah yang menjadi laku hidup dan kehidupan yang diterapkan di kasepuhan.

Di Kasepuhan Ciptagelar juga terdapat kepercayaan untuk tinggal di hutan, tujuannya supaya memiliki kesadaran bagaimana menjaga hutan yang menjadi titipan serta membuat hutan menjadi ranah yang harus ditutup menjadi hutan tutupan. Karena suatu hari nanti hutan akan berguna untuk Kasepuhan. Untuk sistem tata bangunan rumah, di Kasepuhan Ciptagelar menggunakan sistem tiang cagak hateup salak. Artinya membuat bangunan dengan tiang yang bercabang dan atapnya seperti daun salak yang apabila dibalik bisa melindungi sesuatu di bawahnya.

Peribahasa kudu bisa ngigelan zaman tapi ulah kabawa ku zaman

Maksud dari kudu bisa ngigelan zaman tapi ulah kabawa ku zaman adalah mampu mengikuti dan mengimbangi kondisi perkembangan zaman di luar kasepuhan dengan tidak meninggalkan tatanan adat yang menjadi titipan dari leluhur. Salah satu perkembangan zaman yang banyak dirasakan adalah dalam hal teknologi.

Penggunaan teknologi sudah diterima di Kasepuhan Ciptagelar. Dalam hal teknologi modern, listrik dibangun sendiri untuk membangun perangkat Kasepuhan Ciptagelar itu sendiri. Kemudian pada tahun 2004 diciptakan radio suara ciptagelar eksis. Dan pada tahun 2008, Siga TV Ciptagelar yang mengembangkan sistem audiovisual juga berhasil diciptakan. Baru-baru ini dibangun pula sistem jaringan internet internasional yang dikelola oleh kasepuhan. Tambahan lain, bahwa Abah saat ini adalah orang yang sangat menyukai bidang teknologi.

Pertanian dalam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar

Dalam hal penanaman padi, berhuma/berladang menjadi hal yang wajib bagi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Sedangkan bersawah menjadi hal yang sunnah. Bagi mereka berhuma itu buhun (kuno) sedangkan bersawah itu modern. Kegiatan bersawah sendiri dimulai dari masa penjajahan hindia belanda, masyarakat Ciptagelar menyebutnya sebagai proses keseimbangan. Dalam bersawah, rata rata hanya bisa menanam padi atau paling banter tumpangsari dengan ikan. Namun akhirnya bersawah juga menjadi hal yang dikembangkan di kasepuhan. Pada tahun 1986, Prof Gusnaka melakukan penelitian tentang jumlah varietas padi yang ada di Kasepuhan Ciptagelar. Dan saat itu ditemukan sekitar 167 varietas yang masih biasa ditanam. Banyaknya varietas ini disebabkan oleh levelitas daerah. Dimana setiap ketinggian daerah memiliki bibit yang berbeda. Meski dengan jumlah varietas yang sangat banyak, namun warna padi tetaplah hanya ada tiga, yakni merah putih dan hitam.

Di kasepuhan Ciptagelar dikenal konsep hidup yang biasa disebut konsep Dewi Sri. Dewi berasal dari kata dwi yang artinya 2 dan sri yang berarti seri atau seimbang. Maksudnya adalah harus ada dua hal yang seimbang. Dalam kasus pangan, manusia makan nasi dari padi yang juga ditanam oleh manusia.  Maka harus dilakukan laku perlakuan yang saling menghormati dan menghargai padi sebagaimana menghargai diri sendiri.

Dalam menentukan waktu bertani, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tidak menggunakan kalender umum yang berpatokan pada pergerakan bulan dan matahari melainkan menggunakan kalender yang berpatokan pada sistem perbintangan. Dalam bahasa buhun biasa disebut “Tanggal Kerti turun Wesi, Tanggal Kidang Turun Kujang, Surup Kidang Turun Kungkang”. Pada tahun 2016 saat perwakilan dari Kasepuhan Ciptagelar melakukan presentasi astronomi di Belanda, disampaikan mengenai arti dan pengaplikasian peribahasa tersebut. Dimana pertanian dimulai sejak kemunculan bintang orion nebula yang bisa dilihat pada pukul 04.00 dini hari saat langit terang. Dalam bahasa Jepang, kepercayaan ini disebut the subaru.

Di kasepuhan Ciptagelar juga dikenal penanggalan-penanggalan dan prosesi-prosesi dalam pertanian. Dimana bercocok tanam diawali dengan prosesi Rasulan/Utusan yang biasa dilakukan sehari setelah upacara Seren Taun. Kemudian dilanjutkan dengan upacara Ngaseuk, artinya mulai menanam padi di ladang  yang kemudian diikuti dengan menanam padi di sawah. Ada upacara Mipit yang dilakukan saat warga mulai menuai padi di ladang dan kemudian memanen padi di sawah.  Kemudian setelah panen akan ada upacara Nganyaran yang dilakukan saat warga mulai menanak atau memasak nasi hasil panen pertama. Selanjutnya ada upacara Serah  Ponggokan yang merupakan bentuk perwujudan permintaan maaf kepada Indung Pare  yang telah diolah untuk keperluan pertanian. Indung pare adalah padi pilihan yang diikat dengan bentuk kepangan yang nantinya padi ini digunakan sebagai bibit saat mulai penanaman. Dan terakhir ada upacara puncak, yaitu upacara adat “Seren Taun”, yang biasanya mulai disiapkan sejak upacara adat Serah Ponggokan . Upacara Seren Taun merupakan puncak upacara dari semuanya, sebagai bentuk syukur kepada Sang Pencipta bahwa panen berhasil dengan memuaskan.

Ada banyak istilah-istilah lain dalam penanggalan pertanian di Kasepuhan Ciptagelar. Namun beberapa yang disebutkan sebelumnya adalah upacara utama/pokok yang biasa dilakukan di kasepuhan. Pada upacara-upacara tradisi , pangan yang diupacarakan tidak hanya padi, namun segala jenis rupa pangan, buah, sayur, kacang-kacangan juga turut diupacarakan. Dimana maksudnya adalah kasepuhan selalu melakukan hal-hal untuk memberi keselamatan kepada semua unsur yang ada di bumi.

Stok padi di Kasepuhan sangatlah banyak. dalam kurun waktu 10 tahun terakhir diketahui bahwa Kasepuhan Ciptagelar memiliki jumlah leuit sebanyak 10.926 leuit dimana  satu leuit menampung sekitar 8000 ikat padi dan satu ikat beratnya sekitar 3 kg. Maka tidak salah ketika Abah mengatakan bahwa stok padi Kasepuhan Ciptagelar mampu memenuhi kebutuhan pangan kasepuhan selama 95 tahun kedepan.

Di Kasepuhan Ciptagelar dikenal pula hukum adat Kabendon, dimana abah tidak pernah memutuskan hukuman atau memberikan hukuman kepada siapapun yang melakukan kesalahan, karena alam yang akan menghukumnya. Jika ada yang keluar dari adat, maka leluhurnya sendiri yang akan menghukum. Hukum adat ini ada di setiap diri warga kasepuhan sebagai lakon laku hidup yang seimbang dengan alam.


Penulis: Siti Anisa / Mamel


Referensi:

Pemaparan Kang Yoyo Yogasmana. dalam Webinar Series: Indonesian Indigenous Peoples Food Expedition “Ketahanan Pangan dan Masyarakat Adat Gunung (Baduy dan Ciptagelar)” yang diselenggarakan PPAB Rejanawana pada Sabtu, 22 Agustus 2020. (https://www.youtube.com/watch?v=jfvRPkHZTTw)

Suganda, Ugis. 2013. Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar : Membangun Posisi Tawar Hak Atas Hutan Adat 

Comments