(Sumber: theconversation.com)
“Laut itu mama. Dia melahirkan dan membesarkan. Sehingga, kata berburu tidak tepat. Kami hanya mengambil yang sudah dilahirkan dan dibesarkan oleh mama,”
Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Lamalera
Berbicara tentang ketahanan pangan artinya berbicara tentang kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perorangannya. Hal ini tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan SARA. Sehingga masyarakat dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Indonesia terdiri dari bentangan yang luas dengan beragam kebudayaan, yang menyebabkan ketahanan pangannya mempunyai karakter spesifik antara satu dengan yang lainnya. Salah satunya adalah karakter spesifik ketahanan pangan bagi masyarakat adat. Didukung UU 23/2014, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.52/2014 dan Nawacita, bahwasanya masyarakat adat adalah kelompok yang biasanya menempati pesisir atau pulau-pulau kecil secara turun-temurun kemudian kelompok tersebut tumbuh dan berkembang dengan mempertahankan budayanya, dan secara arif membentuk ketahanan pangannya sendiri. Salah satu contoh masyarakat adat yang tinggal di daerah pesisir adalah masyarakat adat Lamalera.
Masyarakat adat Lamalera adalah masyarakat adat yang berasal dari Luwu, Sulawesi Utara yang kemudian pada abad ke-13 bermigrasi ke Lamalera. Hal inilah yang menjadi sebab kenapa Suku Lamalera memiliki beberapa kesamaan dengan Suku Bajo. Saat ini, masyarakat adat Lamalera berada di Desa Lamalera, Kecamatan Lamalera, Kabupaten Lembata, Pulau Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kearifan lokal yang dikembangkan oleh masyarakat adat Lamalera adalah menangkap ikan paus sperma, meski kadang-kadang mereka juga menangkap lumba-lumba. Hal ini tergantung dengan apa yang disepakati saat upacara adat. Ikan yang didapat pun dibagi untuk kepala suku, masyarakat biasa, anak yatim bahkan para janda. Mereka memperhitungkan bagian-bagiannya sehingga ketika sampai waktu untuk pembagian daging tidak akan berebutan. Masyarakat Lamalera merasa bahagia ketika berhasil menangkap ikan paus. Hal ini disebabkan oleh euphoria, semangat, dan angin yang mendukung akan membuat mereka lebih cepat sampai ke darat dan ikan paus akan dipotong keesokan harinya. Paus akan dipotong ketika surut, yang mana masyarakat Lamalera sudah memperhitungkan pasang surut tersebut. Kemudian ikan paus akan dimanfaatkan sebagai bahan pangan berupa daging segar, daging yang di asin, di gulai, dikeringkan, dan dijadikan minyak lentera atau minyak goreng, kemudian bisa juga dijadikan obat-obatan atau dibarter dengan bahan pangan lainnya.
Musim Melaut, Musim ke Laut, Musim di Laut, dan Musim dengan Laut sebagai Konsep Hidup Masyarakat Adat Lamalera
Masyarakat adat Lamalera menjadi satu-satunya Suku di dunia yang masih mewarisi tradisi menangkap ikan besar yang ada di laut. Di Lamalera ada seseorang yang disebut lamafa , yaitu sebutan untuk juru penangkap ikan besar. Bukan hanya itu, lamafa juga bertanggung jawab untuk memimpin seluruh armada di laut. Kegiatan menangkap ikan di Lamalera biasanya menggunakan perahu kayu dengan panjang 11 meter dan lebar 2,5-2,6 meter. Jenis ikan besar yang mereka tangkap adalah ikan hiu, pari manta, lumba-lumba, serta dua jenis ikan mamalia besar yaitu killer whale dan sperm whale. Bobot killer whale yang terbesar bisa mencapai 20-50 ton. Biasanya ikan besar ditangkap oleh 5-7 orang. Bagi masyarakat Lamalera, ikan yang paling sulit ditangkap adalah ikan pari manta besar. Terdapat standar ritual tertentu untuk menangkap ikan besar di Lamalera, terutama ikan pari manta dan paus. Ritual tersebut biasanya dilakukan setiap awal pembukaan musim melaut.
Ada empat musim yang menjadi kalendarium bagi masyarakat Lamalera, yaitu musim melaut, musim ke laut, musim di laut, dan musim dengan laut. Musim melaut berlangsung pada bulan Mei – Oktober. Pembukaan musim melaut yaitu pada tanggal 1 Mei dan ritual adat berlangsung pada 28-30 April. Pada tanggal 1 Mei biasanya diadakan demokrasi pantai, yaitu pembicaraan yang berkaitan dengan kehidupan laut dan darat terkait dengan pembagian hasil tangkapan ikan besar selama musim sebelumnya. Pada musim tersebut, ada atau tidaknya ikan, masyarakat Lamalera harus tetap pergi ke laut. Kemudian ada musim ke laut yang berlangsung kapan pun saat ikan terlihat atau menghampiri mereka. Para nelayan biasanya pergi ke laut pukul 06.30 dan pulang pukul 15.30. Sebagai bentuk tradisi, masyarakat Lamalera biasanya tidak akan membawa bekal saat melakukan penangkapan ikan.
Yang ketiga ada musim di laut, dimana mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menangkap jenis ikan tertentu yaitu ikan pari manta. Lokasi tempat tersebut yaitu di Pantar dan ujung Pulau Flores. Selain untuk menangkap ikan, masyarakat Lamalera melakukan literasi budaya sehingga pantai di kedua tempat tersebut diberi nama Pantai Lamalera. Musim ini berlangsung selama satu bulan penuh dari pertengahan Juli hingga Agustus. Dan yang terakhir adalah musim dengan laut, dimana laut merupakan pusat keselamatan. Masyarakat adat Lamalera memiliki suatu kemampuan bersyair yang biasanya digunakan untuk memanggil angin, membujuk ikan, dan lain sebagainya.
Masyarakat adat Lamalera juga memiliki tiga pilar kehidupan yaitu konsep laut, konsep perahu, dan konsep darat. Tiga pilar kehidupan tersebut menjadi tiang kehidupan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan juga spiritualitas. Proses investasi dan transaksi ekonomi yang berlangsung dari abad ke-13 hingga saat ini yaitu sistem barter. Adanya sistem barter tersebut tidak mempengaruhi perekonomian masyarakat adat Lamalera, hal ini karena sistem barter tidak akan terganggu dengan fluktuasi dollar dan lain sebagainya.
Di Lamalera terdapat pasar barter yang biasanya digelar pada hari Rabu dan Sabtu. Dimana di pasar tersebut ikan dapat ditukar dengan jagung, sayur, beras, umbi-umbian, dan sebagainya. Selain menjadi tempat jual beli, pasar dijadikan sebagai tempat bercengkrama dan bertukar cerita. Masyarakat Lamalera hidup bergantung pada laut, dimana seluruh konsep hidup mereka diatur oleh laut sehingga laut disebut juga mama yang artinya ibu. Perempuan menjadi sentral di kehidupan masyarakat Lamalera, termasuk aspek ekonomi pun biasanya dipegang oleh perempuan. Sebagai bentuk penanganan pascapanen, kaum Ibu-ibu di Lamalera akan menyimpan hasil barter dalam satu tabung yang disebut mata gapu. Hal ini dilakukan untuk persiapan menghadapi masa krisis. Mata Gapu berupa anyaman besar yang ditaruh di atas tungku api lalu diasapi. Bahkan menariknya, mereka menyimpan gabah dengan kapur supaya bisa bertahan sampai bertahun-tahun, sedangkan jagung disimpan diatas tungku dan diolah hingga bisa tahan selama 8 sampai 9 tahun.
Saat ini, masih banyak kalangan yang beranggapan bahwa masyarakat Lamalera memburu ikan besar yang akan berdampak punahnya populasi ikan tersebut. Namun, faktanya masyarakat Lamalera tidak berburu ikan besar melainkan mengambil apa yang dikirim oleh Tuhan yang biasa disebut paket atau dalam bahasa lokal yaitu kenato. Masyarakat Lamalera menangkap ikan besar dengan intensi utama diperuntukkan bagi orang banyak. Tujuan mereka mengambil ikan besar yaitu untuk menghidupi banyak orang terutama untuk para janda dan anak-anak terlantar. Masyarakat Lamalera menjalankan hal tersebut juga berdasarkan UUD 1945 Pasal 33. Namun, Di samping itu, masyarakat Lamalera tidak menolak modernisasi. Mereka memilah modernisasi supaya sesuai dengan budaya dan adat yang sudah diturunkan oleh leluhurnya.
Menurut International Whaling Commission (IWC) dan UU no 45 Tahun 2009. Masyarakat nelayan Lamalera diizinkan menangkap paus dengan pertimbangan bahwa mereka sebagai nelayan kecil dan menangkap paus hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengelolaan sumber daya perikanan dilakukan dengan mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal, serta memperhatikan peran masyarakat lokal dan dilandaskan pada pengetahuan ekologi tradisional meliputi teknik penangkapan, jenis paus yang ditangkap, daerah penangkapan, dan kelembagaan yang mengelola sumberdaya paus sperma secara arif dan tradisional. Bahkan jumlah ikan paus yang sudah ditangkap selama 207 tahun mungkin hanya mencapai 407 ekor. Jumlah ini bisa didapatkan melalui penangkapan besar-besaran di Jepang dan Norwegia dalam kurun waktu satu tahun.
Penulis: Siti Anisa / Mamel.
Referensi:
Pemaparan Dr.Ir. Eddy Afrianto. M. Si dalam Webinar Series: Indonesian Indigenous Peoples Food Expedition “Ketahanan Pangan dan Masyarakat Adat Pesisir (Bajo dan Lamalera)” yang diselenggarakan PPAB Rejanawana pada Sabtu, 29 Agustus 2020.
Pemaparan Pak Bona Beding dalam Webinar Series: Indonesian Indigenous Peoples Food Expedition “Ketahanan Pangan dan Masyarakat Adat Pesisir (Bajo dan Lamalera)” yang diselenggarakan PPAB Rejanawana pada Sabtu, 29 Agustus 2020.
Webinar Series: Indonesian Indigenous Peoples Food Expedition “Ketahanan Pangan dan Masyarakat Adat Pesisir (Bajo dan Lamalera)” https://www.youtube.com/watch?v=f4o9fAIpozA
Comments
Post a Comment