Pengetahuan Ekologis dan Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Bajo

(Sumber: nationalgeographic.com)

Pengetahuan, tradisi, dan perilaku suatu masyarakat dapat tumbuh menyesuaikan kondisi alam dan tantangan ada dalam kehidupannya. Pemahaman manusia tentang alam dan perilaku manusia yang menyesuaikan unsur ekologis akan membentuk kearifan lokal masyarakat. Nilai-nilai yang terdapat dalam suatu masyarakat berupa tradisi, sikap, dan perilaku yang berlandaskan wawasan ekologis kemudian menciptakan pengetahuan ekologis masyarakat tersebut. Pengetahuan ekologis tersebut diterapkan dalam upaya mengelola sumber daya alam serta upaya pelestarian ekosistem tempat tinggalnya. (Utina, 2011)


Salah satu masyarakat yang memiliki pengetahuan ekologis adalah Masyarakat Adat Bajo di Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo. Mereka memelihara dan menjaga ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang dengan baik. Masyarakat Adat Bajo memiliki kedekatan emosional dan pemahaman terhadap ekosistem laut yang merupakan tempat hidup mereka. Keadaan tersebut melahirkan sikap dan perilaku yang selalu mempertimbangkan kapasitas ekologis lingkungan hidupnya. Kearifan lokal berupa kecerdasan ekologis (Ecological intelligence) melahirkan tradisi, aturan, atau pantangan yang dijaga dan dipelihara secara turun temurun dalam kehidupan Masyarakat Adat Bajo.


Pengetahuan ekologis sumber daya laut masyarakat adat Bajo menciptakan tradisi yang disebut Mamia Kadialo. Tradisi tersebut merupakan pengelompokan orang ketika kegiatan melaut: (1) Pallibu, kebiasaan melaut dengan menggunakan perahu jenis Soppe yang digerakkan dengan dayung selama satu sampai dua hari. (2) Bapongka, kegiatan melaut selama beberapa minggu atau bulanan dengan menggunakan perahu besar berukuran sekitar 2 x 4 meter yang disebut Leppa atau Sopek. (3) Sasakai, kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu untuk melaut selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. (Utina, 2011; Ramli dan Alwiah, 2008; Harun, 2011).


Selama masyarakat adat Bajo menjalani Mamia Kadialo, terdapat aturan adat atau pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh para pelaut atau keluarga yang ditinggal melaut. Pantangannya yaitu (1) larangan membuang limbah ke perairan laut yang dapat mengakibatkan pencemaran laut dan mengganggu biota di dalamnya. (2) Larangan membunuh penyu, dan (3) larangan mendekati gugusan terumbu karang tertentu yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tinggi. Aturan adat berupa pantangan tersebut selama ini diterapkan masyarakat adat Bajo  untuk mendukung eksistensi ekosistem perairan laut dan pesisir.


Dalam kegiatan penangkapan ikan, masyarakat adat Bajo menggunakan cara sederhana. Salah satu alat yang digunakan untuk memancing ikan yaitu bina, sejnis benang katun tanpa mata pancing. Alat ini khusus digunakan untuk memancing ikan Sori yang memiliki paruh panjang dan banyak gerigi (Harun, 2011). Mereka juga menggunakan tombak atau panah khusus dalam menangkap ikan di daerah terumbu karang. Cara-cara yang masih sederhana tersebut digunakan karena masyarakat adat Bajo tidak ingin mengeksploitasi sumber daya laut dan memberikan kesempatan pada biota laut untuk berkembangbiak sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Utina, 2011).


Umar Pasandre, masyarakat adat Bajo yang menjadi Ketua Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) di Desa Torosiaje, dalam Webinar Indonesian Indigenous Peoples Food yang diadakan PPAB Rejanawana di bulan Agustus 2020, menyampaikan bahwa ketahanan pangan masyarakat adat Bajo bergantung pada kelestarian laut di sekitarnya.. Dia menyatakan hal tersebut karena mayoritas (80%) masyarakat adat Bajo di Desa Torosiaje berprofesi sebagai pelaut atau nelayan sehingga kualitas sumber daya laut menjadi faktor penting bagi pemenuhan pangan mereka.


Sumber pangan masyarakat adat Bajo didominasi oleh hasil tangkapan nelayan. Hasil laut berupa ikan, teripang, lobster, dan kepiting menjadi menu makan masyarakat adat Bajo. Mereka juga melakukan pengawetan hasil laut dengan cara penggaraman, penggulaan, dan pengeringan untuk memperpanjang umur simpan hasil panen tersebut. Namun, di saat kondisi tidak memungkinkan untuk melaut atau memancing, masyarakat adat Bajo biasanya melakukan kegiatan barter dengan masyarakat di darat yang umumnya berprofesi sebagai petani. Kita belajar dari masyarakat adat Bajo, melalui aturan adat yang menunjukkan kecerdasan ekologis mereka sehingga keberlangsungan hidup dan pemenuhan ketahanan pangan mereka sejalan dengan kelestarian alam di sekitarnya.


Penulis: Muhammad Wildan Sapoetro / Buroh


Referensi:

(1) Utina, Ramli. 2011. Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Suku Bajo di Desa Torosiaje, Provinsi Gorontalo. Mangrove for the Future Project (MFP). Universitas Negeri Gorontalo.

(2) Ramli, dan Alwiah. 2008. Bapongka: Studi Nilai Pendidikan Pelestarian Ekosistem Laut dan Pesisir pada Masyarakat Bajo. Journal Matsains.vol. 12. No.3

(3) Harun, Roy. 2011. Kearifan Lokal Masyarakat Bajo dalam Melestarikan Lingkungan Pesisir di Desa Torosiaje Kecamatan Popayato Kabupaten Pohuwato. Tesis. Universitas Negeri Gorontalo.

(4) Pemaparan Umar Pasandre dalam Webinar Series: Indonesian Indigenous Peoples Food “Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Pesisir (Bajo dan Lamalera)” yang diselenggarakan oleh PPAB Rejanawana pada Sabtu, 29 Agustus 2020. (https://www.youtube.com/watch?v=f4o9fAIpozA) (5) Pemaparan Dr. Ir. Eddy Afrianto, M.Si. dalam Webinar Series: Indonesian Indigenous Peoples Food “Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Pesisir (Bajo dan Lamalera)” yang diselenggarakan oleh PPAB Rejanawana pada Sabtu, 29 Agustus 2020. (https://www.youtube.com/watch?v=f4o9fAIpozA)

Comments